Hujan.
Ketika ku dengar derap langkahmu
perlahan menjauh dariku. Apa salahku? Aku tak pernah tau mengapa tiba” kau
pergi meninggalkanku. Masih teringat olehku semua janji” manismu. Begitu hangat
terdengar, tapi semua itu hanyalah sebaris kalimat tak berbukti yang kau
ucapkan kepadaku. Ku diam, tak tahu apa yang harus ku lakukan. Menangisi
kepergianmu, ya.. hanya menangis yang bisa kulakukan saat ini.
Tetap hujan.
Kala ku sadari kini aku sendiri
tanpamu di sisiku lagi. Hanya air mata tertumpah yang mampu meredakan gemuruh
di dada. Harusnya aku marah, tapi sungguh aku tak bisa. Masih dapat ku dengar
dengan jelas ketika kau ucapkan kata perpisahan itu “Maaf, Rani. Hatiku tak lagi
untukmu” lalu tanpa mempedulikan perasaanku kau pergi meninggalkanku begitu
saja. Singkat. Sebuah kalimat singkat dan pelan, namun begitu menghujam ke
dalam relung hati. Mengalahkan gemuruh suara petir yang ku dengar saat ini.
Harusnya aku marah kan? tapi mengapa aku hanya bisa menumpahkan air mata?
Masih mendung.
Ketika kucoba melangkahkan kaki
tanpa hadirmu lagi. Aku tau, aku tak boleh terus begini. Ini harus di akhiri.
Meski sulit, meski perih, meski tak ingin… tapi bila hati sudah tak dapat di
satukan lagi mengapa mesti dipaksakan? Sungguh kau tak akan tau betapa sulitnya
aku tanpamu. Tapi apa pedulimu?
Cerah.
Kapan cerah datang.. saat aku bisa
bebas bergerak tanpa beban. Tanpa ada lagi bayangan kepergianmu yang selalu
menghantuiku. Ah, biarkan saja hujan… biarkan hujan menghapus semua jejak
langkah kakimu. Biarkan mendung menghilangkan bayanganmu. Hingga saat cerah
datang yang dapat kulihat hanya lah jejak langkahku, hanya bayang”ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar